Hallopost.com, MERANTI – Di tengah kerusakan lingkungan yang kian masif, aktivitas pemanfaatan hutan mangrove di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, justru berlangsung tenang tanpa banyak hambatan hukum. Investigasi Hallopost menemukan bahwa sebuah koperasi berinisial KS, yang telah berdiri dan beroperasi selama lebih dari dua dekade, diduga memainkan peran strategis dalam alur distribusi kayu mangrove – baik legal maupun ilegal – dengan menyandarkan legitimasi pada izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Ahad (01/06/2025)
HTR sebagai Payung Legal, Praktik Lapangan Berbeda
KS diketahui memiliki izin pengelolaan HTR seluas 700 hektare di Pulau Padang. Bersama dua koperasi lain, total izin mencapai 2.100 hektare. Secara administratif, KS tampak sah. Namun, temuan Hallopost di lapangan menunjukkan kesenjangan antara izin legal dan praktik operasional.
Kayu mangrove yang ditebang masyarakat dijual ke panglong arang, lalu disalurkan ke KS. Panglong-panglong ini menyetorkan sejumlah uang tiap bulan sebagai kontribusi wajib kepada koperasi. Besaran setoran disebut sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), namun dalam praktiknya, nilai tersebut bervariasi tergantung skala dan keuntungan usaha, dengan jumlah terendah mulai dari Rp500.000 per bulan.
Ironisnya, istilah “PNBP” digunakan secara longgar, padahal tidak seluruh transaksi tersebut tercatat sebagai penerimaan resmi negara. Penggunaan istilah ini dalam konteks informal patut dipertanyakan legalitas dan akuntabilitasnya.
Kesaksian Karyawan Aktif: “Kalau Bersih, Tak Bisa Jalan”
Seorang karyawan aktif KS yang telah bekerja selama 30 tahun menyatakan bahwa mengikuti prosedur resmi justru membuat usaha sulit berkembang.
“Kalau semua sesuai SOP, tak bisa jalan. Macam mana kami mau amankan sana-sini,” ungkapnya kepada Hallopost.
Pernyataan ini menandakan adanya pola operasional yang tidak lagi bersandar pada regulasi, melainkan pada “koordinasi” informal yang menjadi bagian dari sistem kerja koperasi.
Kayu Diduga Ilegal Dibeli, Masyarakat Dijadikan Alasan
KS diduga juga membeli kayu hasil penebangan liar dengan dalih “mengakomodasi masyarakat”. Koperasi berdalih bahwa mereka tidak punya pilihan ketika masyarakat datang dengan kayu tebang yang siap dijual.
“Kadang masyarakat datang bawa kapak. Takut juga kami. Lagipun kasihan, kalau diberitakan nanti, orang tua itu kerja apa lagi?” ujar perwakilan KS, menyiratkan bahwa tekanan sosial dijadikan justifikasi praktik ilegal.
Padahal, keuntungan utama dari ekspor arang mangrove justru mengalir ke pihak-pihak elit, bukan masyarakat penebang kecil. Narasi sosial ini pun patut dicermati sebagai bagian dari strategi pembenaran struktural.
UPT KPH: Banyak Panglong Tak Berizin, KS Memiliki Legalitas
Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Selatpanjang, kabupaten Meranti, Riau. Apidian Suderdianta, mengonfirmasi bahwa banyak panglong arang yang beroperasi tanpa izin. Ia menyebutkan pihaknya telah melakukan pendekatan persuasif untuk mendorong legalisasi kegiatan masyarakat.
“Ada beberapa tempat yang kami kunjungi tidak memiliki izin pemanfaatan hutan. Kami sudah datangi dan ingatkan agar segera mengurus izin,” jelas Apidian.
Terkait KS, Apidian membenarkan bahwa koperasi tersebut mengantongi izin sah, dan mempertanyakan mengapa hanya KS yang menjadi sorotan.
“Mohon maaf, kenapa hanya KS yang disorot? Mereka kan punya izin,” ujarnya.
Namun, legalitas izin tidak serta merta menghapus pertanggungjawaban atas praktik di lapangan, terlebih jika terbukti melibatkan kayu dari sumber ilegal dan praktik penyetoran yang tidak sesuai ketentuan PNBP yang sebenarnya.
Polisi Enggan Berkomentar, KS Minta Konfirmasi Dihentikan
Ketika dikonfirmasi, Kapolres Kepulauan Meranti AKBP Aldi dan Kasat Reskrim AKP Roemin Putra tidak memberikan tanggapan. Setelah konfirmasi tersebut, pihak KS justru menghubungi Hallopost dan memohon agar tidak lagi menghubungi aparat kepolisian.
“Kalian ada hubungi Reskrim ya? Udahlah, jangan buat berita soal ini lagi. Kasihan masyarakat, nanti tak ada kerja,” ujar sumber dari KS.
Permintaan tersebut semakin mempertegas bahwa tekanan terhadap pemberitaan bukan hanya soal nama baik, melainkan juga ketakutan terhadap pembongkaran struktur yang selama ini dilindungi oleh narasi sosial.
Penutup: Akuntabilitas Diperlukan, Bukan Retorika
Kasus dugaan pembiaran eksploitasi hutan oleh KS harus dilihat sebagai cerminan lemahnya pengawasan, ketidaktegasan aparat, dan kaburnya garis antara legal dan ilegal dalam pengelolaan sumber daya alam.
Penggunaan istilah PNBP untuk setoran informal, pembelian kayu ilegal dengan alasan sosial, serta keberlangsungan usaha tanpa sanksi selama puluhan tahun menunjukkan bahwa hukum hanya menjadi formalitas administratif.
Sudah saatnya aparat penegak hukum dan instansi kehutanan bertindak dengan objektif dan tegas. KS, serta entitas lain yang beroperasi di bawah narasi “legal namun tak etis”, harus diperiksa secara menyeluruh, demi menjamin keadilan ekologis dan supremasi hukum yang tak pandang bulu.








