Rekomendasi BPK Belum Rampung Sejak 2010, Meranti Terancam Siklus Kelemahan Tata Kelola

Hallopost.com, MERANTI – Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti menghadapi sorotan publik terkait belum tuntasnya tindak lanjut atas rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia. Berdasarkan data Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2024 yang dirilis BPK Perwakilan Kepulauan Riau, tercatat nilai sebesar Rp37,17 miliar belum ditindaklanjuti secara tuntas sejak tahun anggaran 2010–2019.

Dari total temuan senilai Rp91 miliar, Pemkab Meranti baru menyelesaikan sekitar 78,68% atau Rp79,59 miliar. Adapun Rp1,53 miliar lainnya belum menunjukkan progres penanganan. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan terbentuknya preseden buruk dalam pengelolaan akuntabilitas keuangan daerah.

Transparansi di Ujung Tanduk

Kondisi tersebut mencerminkan bukan semata kendala administratif, melainkan menyentuh aspek mendasar dalam tata kelola pemerintahan: transparansi, efektivitas pengawasan internal, dan keberanian politik (political will) untuk menegakkan disiplin anggaran. Terlebih, sejumlah temuan berasal dari dua periode pemerintahan yang berbeda, menunjukkan adanya pola repetisi kelemahan sistemik yang belum sepenuhnya dipecahkan.

BACA JUGA  Terjerat Kasus Pencurian Uang Rp 9 Miliar, Polisi Limpahkan Berkas Perkara Oknum Advokat Batam ke Jaksa

Periode 2015–2019 bahkan menyumbang porsi terbesar dalam ketidakpatuhan, dengan nilai rekomendasi yang belum tuntas mencapai Rp26,48 miliar. Angka ini mencerminkan tantangan serius dalam konsistensi penegakan akuntabilitas keuangan.

Penjelasan Inspektorat: Progres Ada, Tapi Tertahan

Menanggapi hal ini, Kepala Inspektorat Kepulauan Meranti, Rawelly, menjelaskan bahwa seluruh rekomendasi BPK masih berada dalam proses penyelesaian. Ia menepis anggapan bahwa terdapat rekomendasi yang tidak dapat ditindaklanjuti.

“Sampai hari ini, belum ada rekomendasi yang dinyatakan tidak dapat ditindaklanjuti. Bahkan yang Rp1,53 miliar itu bukan tidak bisa ditindaklanjuti, tapi belum dilakukan karena berasal dari tahun-tahun lama seperti 2010 hingga 2014,” ujar Rawelly saat dihubungi Hallopost, Kamis (23/5/2025).

Rawelly menyebutkan bahwa kendala utama dalam penyelesaian tersebut adalah keterlibatan pihak ketiga. “Dari Rp79 miliar rekomendasi, sekitar Rp32 miliar sudah ditindaklanjuti, Rp45 miliar masih dalam proses, dan sisanya sekitar Rp1,5 miliar belum ada perkembangan. Banyak kendala berasal dari keterlambatan tanggapan pihak ketiga,” katanya.

BACA JUGA  Polisi Tangkap Koboi Jalanan Todongkan Senpi Beraksi di Mampang Jakarta Selatan

Sanksi ASN dan Upaya Percepatan

Lebih lanjut, Inspektorat mengaku telah menerapkan sejumlah kebijakan untuk mendorong percepatan penyelesaian, termasuk pengenaan sanksi terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terlibat dalam temuan tersebut.

“Kami telah mengatur bahwa ASN yang belum menyelesaikan temuan tidak bisa mengajukan mutasi, kenaikan pangkat, promosi jabatan, bahkan pembayaran TPP-nya bisa ditunda,” ungkap Rawelly.

Ia menambahkan bahwa progres penyelesaian terus meningkat dan jumlah ASN yang masih menunggak telah berkurang secara signifikan.

Kejelasan Arah Reformasi

Di tengah upaya tersebut, publik tetap memiliki hak untuk mempertanyakan transparansi, efektivitas, dan keberlanjutan langkah-langkah reformasi yang dijalankan pemerintah daerah. Apakah langkah yang diambil sekadar pelaporan tahunan, atau benar-benar berorientasi pada pembenahan struktural dalam pengelolaan keuangan publik?

BACA JUGA  Pekan Disiplin Lanud Hang Nadim, TNI-Polri lakukan Razia Gabungan di THM Batam

Sebagai daerah penghasil, Kepulauan Meranti dituntut menjadi teladan dalam tata kelola fiskal. Ketidakmampuan menuntaskan rekomendasi BPK bukan hanya soal teknis, melainkan juga moral dan kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan.

Menuju Evaluasi Menyeluruh

Dengan 741 kasus temuan berdasarkan laporan BPK, evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan internal dan hubungan kerja dengan pihak ketiga menjadi krusial. Komitmen untuk membangun Meranti yang akuntabel, transparan, dan berdaya saing tinggi tidak cukup hanya dengan penegasan normatif, namun perlu dibuktikan melalui data dan progres yang terukur.

Kini, pertanyaannya bukan lagi “berapa besar dana yang belum ditindaklanjuti”, melainkan: “Apa langkah konkret untuk menjamin bahwa masalah ini tidak menjadi warisan abadi bagi pemerintahan berikutnya?”