KARIMUN, HalloPost.com – Ahli hukum laut internasional dan maritim, Soleman B Ponto yang dihadirkan sebagai saksi a de charge (meringankan) untuk tiga orang terdakwa WNA India bernama: Raju Muthukumaran, Selvadurai Dinakaran, Govindhasamy Vimalkandhan menduga kapten kapal Legend Aquarius, Sandro Mason Silalahi dengan pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) RI berkomplot dalam menyelundupkan narkotika jenis sabu sebanyak 106 Kg ke wilayah perairan Indonesia menggunakan kapal kargo Legend Aquarius berbendera Singapura.
Dugaan ini muncul, menurutnya, dikarenakan bahwa sejak kapten kapal tidak melaporkan temuan narkotika ini kepada otoritas pelabuhan Malaysia (lokasi pertama diketahui keberadaan narkotika di dalam kapal) saat mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM), kapten tetap melanjutkan pelayarannya sampai masuk ke perairan Indonesia dan tetap melakukan hal yang sama yaitu tidak melaporkan tentang narkotika ini kepada otoritas pelabuhan di Indonesia– justru kapten berkomunikasi/berkoordinasi dengan pihak BNN, sehingga memunculkan asumsi bahwa apa yang dilakukan oleh kapten tersebut merupakan upaya penyelundupan barang terlarang yang dibantu oleh BNN.
“Kenapa saya berani menyimpulkan seperti itu? Karena kapten tidak pernah dihadirkan di sini (pengadilan). Artinya, ada sesuatu yang disembunyikan terhadap barang itu (sabu)… Untuk itu, seharusnya kita bongkar hal itu di sini terkait apa saja yang sebenarnya terjadi di atas kapal,” kata Soleman di PN Tanjung Balai Karimun Kelas II, Selasa, 25 Februari 2025.
Sebelum menyampaikan dugaan tersebut, di awal persidangan Soleman terlebih dahulu menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh tim penasihat hukum terdakwa: Hadi Hasibuan, Dewi Julita Tinambunan, dan Yan Aprido dari Kantor Hukum Bambang Supriadi & Partners setelah sidang dibuka untuk umum oleh Majelis Hakim.
Adapun pertanyaan yang ditanyakan kepada purnawirawan perwira tinggi TNI Angkatan Laut ini perihal; Sejauh mana pertanggungjawaban kapten terhadap barang/muatan yang berada di atas kapal?
Kata dia, berdasarkan UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran pada pasal 137 di situ disebutkan bahwa “Nahkoda untuk kapal motor ukuran GT 35 atau lebih memiliki kewenangan penegakan hukum serta bertanggungjawab atas keselamatan, keamanan, dan ketertiban kapal, pelayar, dan barang muatan.”
Mengacu pada pasal 137 ini, kata dia, sangat jelas bahwa kalau berbicara barang muatan di atas kapal itu mutlak tanggungjawab kapten. Lalu, bagaimana dengan ketentuan hukum lainnya dengan aturan yang berlaku di atas kapal– ketika kapal berbendera Singapura yang berlabuh di pelabuhan Malaysia kemudian mengetahui bahwa terdapat barang terlarang di kapal, maka kapten harus menyampaikan kepada otoritas pelabuhan di mana kapal tersebut berada sesuai dengan ketentuan hukum internasional bukan Indonesia.

“Kalau kapten melaporkan ke Indonesia itu menjadi aneh, dan kenapa harus ke Indonesia? Apakah karena kapten warga negara Indonesia? Kalau memang itu (analogi) yang dipakai jika saya seorang kapten berkewarganegaraan Mesir, kemudian saya mengetahui bahwa di dalam kapal saya ada barang (sabu) apakah saya harus melaporkan ke Mesir? Itulah sebabnya kapten harus melakukan apa yang harus dilakukan yaitu melaporkan ke Malaysia,” kata dia.
“Kita harus berasumsi bahwa kapten kapal itu tidak semua warga negara Indonesia, seharusnya dia melaporkan kepada otoritas pelabuhan, karena kapten kapal yang secara hukum hanya tahu bahwa otoritas pelabuhan bukan di luar itu. Terlebih, kapal itu berbendera Singapura bukan bendera Indonesia sehingga kewajiban melaporkan itu kepada otoritas pelabuhan di mana mereka akan masuk. Setelah itu barulah otoritas pelabuhan yang koordinasi dengan pihak terkait atas laporan kapten kapal tersebut– seperti itulah aturannya,” terangnya.
Jika kapten tidak pernah dihadirkan di persidangan, maka ia khawatir bisa saja jalannya persidangan ini tersesat karena saksi kunci dalam perkara ini tidak bisa menjelaskan kejadian sebenarnya– mengingat banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
“Kalau kapten kapal tidak pernah hadir secara langsung di sini… Ya, kita seperti orang buta memegang gajah saja semua– ada yang berdasarkan katanya– padahal ini (terdakwa) terancam hukuman mati. Jadi, kelebihan kapten itu, mukanya harus ada di setiap kita sidang. Kalau tidak ada… maka, kita bisa tersesat dalam peradilan, karena tanpa orang yang berwajib dan harus bertanggungjawab tidak dihadirkan di sini. Karena banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab atau dijelaskan oleh kapten,” ungkapnya.
Selanjutnya, penasihat hukum terdakwa meminta tanggapan Soleman mengenai kepemilikan narkotika ini (dalam perkara ini) semuanya ditanggungkan kepada terdakwa yang posisinya di kapal tersebut hanya sebagai penumpang.
Mengenai hal itu, Soleman berpendapat bahwa hal itu merupakan eror in persona– karena penumpang di atas kapal itu tidak punya hak (kepemilikan) meskipun barang itu adalah barang miliknya.
“Ketika sudah masuk ke dalam kapal itu sudah masuk dalam list kapal (manifest) dan sejak saat itu sudah tanggungjawab kapal, nanti kalau setelah dia turun baru barang-barang ini kembali kepada pemilik awalnya. Maka, berlakulah pasal 137 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran: Barang dan muatan adalah tanggung jawab kapten. Dalam hal ini terdakwa didakwa dengan pasal 112,113, dan 114 UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika, jika mengacu kepada pasal 137 UU No 17 tahun 2008 semua pasal tersebut seharusnya mengerucut kepada kapten tidak kepada orang lain,” kata dia.
Pertanyaan penasihat hukum terdakwa berlanjut mengenai siapa yang harus melakukan pemeriksaan terkait keluar-masuk barang muatan di kapal? Untuk tugas tersebut, kata dia, itu merupakan tugas dari mualim I (chief officer) apakah barang tersebut sesuai dengan permintaan atau tidak?.
“Dia yang periksa, setelah diperiksa… dia nanti membuat list yang baru bahwa kapal akan berangkat dengan barang-barang yang ada dalam list itu,” ujarnya
Pertanyaan lainnya oleh penasihat hukum terdakwa, terkait keberadaan narkotika itu yang ditemukan di dalam tangki kapal, dalam hal ini siapa orang yang paling bertanggungjawab terhadap tangki tersebut?
Menjawab pertanyaan ini, Soleman mengatakan bahwa kalau sampai narkotika tersebut masuk ke dalam tangki, orang yang paling bertanggungjawab adalah kepala kamar mesin (chief engineer) karena dia yang paling tahu kunci pembuka tangki letaknya di mana dan kenapa tangki bisa terbuka.
Masih dengan pertanyaan penasihat hukum terdakwa, apakah di setiap perjalanan kapal itu harus ada log book?
“Kapal selama dia berlayar itu harus ada log book tertulis, misalnya kapal bergeser berapa derajat itu ditulis– di ruang mesin juga sama, harus juga ditulis; jam segini ada pengerjaan apa di mesin, atau ada pergantian penjagaan, atau jam segini telah terjadi pembukaan manhole, atau jam segini terjadi kehilangan kunci… itu semua harus tertulis. Jadi, tidak ada satu pun kejadian tersebut tidak tercatat,” kata dia.
Lanjut pertanyaan penasihat hukum terdakwa, apakah orang bisa masuk ke dalam tangki dalam kondisi ada muatan minyak atau pun tidak?
“Tangki itu, ini posisinya kalau berlayar, ya, pasti tangki itu sudah terisi minyak kalau pun sampai di sana (Malaysia) dikosongkan tidak mungkin orang bisa langsung masuk– dia pasti akan membutuhkan alat bantu setidaknya blower, kemudian dia semprotkan itu blower untuk mengusir itu gas-gas itu keluar, setelah keluar barulah orang bisa masuk– itu pun prosesnya tidak gampang. Inilah pentingnya kepala kamar mesin di sini,” kata dia.
Kemudian pertanyaan dari Jaksa Penuntut Umum kepada Soleman, di luar kapten kapal ada kru kapal atau ABK, kemudian ada orang lain yang tidak didaftarkan dalam kapal karena bukan kru, apakah itu bisa dikenakan UU narkotika terkait dengan perbuatan membawa barang tersebut?
“Tidak bisa, karena di kapal kapten yang bertanggungjawab. Sepanjang kapten tidak bisa membuktikan bahwa barang itu bukan miliknya, maka tidak bisa ditanggungkan kepada orang lain,” kata dia.
Beralih ke pertanyaan Majelis Hakim, Gracious K.P. Perangin Angin kepada Soleman, mengenai kapten kapal ketika mengetahui bahwa di kapalnya ada narkotika, kemudian masuk ke Indonesia dan melaporkan kepada BNN bukan ke otoritas pelabuhan, apakah hal itu merupakan perbuatan melanggar hukum? Jika iya, seperti apa dasar hukumnya dan tertulis di mana?
“Hal itu merupakan perbuatan pelanggaran un-prosedural yang dilakukan oleh kapten kapal, kita jangan melihat kapten ini sebagai orang Indonesia… Misalkan kapten ini orang Mesir, bisa dibayangkan tidak dia melaporkan ke BNN? Kan tidak bisa… Maka, dia harusnya melaporkan ke KSOP karena hal ini berkaitan dengan kepemilikan barang (dalam perkara),” kata dia.
Pertanyaan lainnya ditanyakan oleh Ketua Majelis Hakim, Yona Lamerossa Ketaren kepada Soleman, berdasarkan fakta persidangan… yang mana saat itu, saksi kapten kapal menyampaikan di persidangan secara online bahwasannya dia bersama dengan para kru-nya pergi meninggalkan kapal atas permintaan dari ketiga orang terdakwa dengan alasan bahwa kapal berada di dalam pengawasan mereka; pandangan ahli mengenai keputusan yang diambil oleh kapten dengan alasan bahwa ada orang lain yang dianggap menjadi orang kepercayaan dari owner kapal, apakah memungkinkan menyerahkan tanggungjawabnya kepada ketiga orang terdakwa ini? Bagaimana pandangan saudara?
“Itu tidak mungkin, saya sudah sampaikan bahwa sesudah Tuhan… Saya adalah kapten, dan ketika kapten ini disuruh oleh pemilik untuk meninggalkan kapal itu sangat tidak masuk akal, karena jika kapten meninggalkan kapal, kemudian kapal itu hanyut atau terbakar, siapa yang rugi? Kan juga pemilik. Jadi, tidak mungkin pemilik memberikan perintah itu,” kata dia.
Selain itu, kapten kapal Legend Aquarius ini menurut Soleman juga bukan kapten amatir yang baru berlayar, apalagi dia merupakan kapten yang membawa kapal berbendera Singapura yang diketahui di dunia pelayaran memiliki standar prosedur lebih tinggi.
Untuk diketahui, pada tanggal 13 Juli 2024 lalu BNN RI bekerjasama dengan Bea Cukai mengamankan ketiga orang terdakwa ini di perairan Pongkar, Karimun di sebuah kapal kargo Legend Aquarius yang akan berlayar menuju Australia.
Penulis: Shafix








